Ticker

6/recent/ticker-posts

Resensi Buku Garis Batas Karya Agustinus Wibowo

Buku Garis Batas Karya Agustinus Wibowo
Buku Garis Batas Karya Agustinus Wibowo

Satu persatu buku bacaan yang sudah lama menumpuk di meja terselesaikan dibaca. Kali ini waktunya tenggelam dengan buku tebal karya Agustinus Wibowo yang berjudul Garis Batas. Saatnya berselancar ke negara di Asia Tengah. 

Sebelum menyelesaikan buku ini, saya sudah terlebih dulu menyelesaikan bacaan karya Agustinus Wibowo yang lainnya dengan judul Titik Nol dan Selimut Debu. Bahkan diwaktu yang hampir bersamaan, saya juga sudah memesan buku baru Agustinus Wibowo berjudul Jalan Panjang Untuk Pulang. 

***** 

Judul: Garis Batas 

Penulis: Agustinus Wibowo 

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 

No ISBN: 978-979-22-6884-3 

Genre: Catatan Perjalanan 


Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah 

Garis Batas adalah sebuah buku yang bercerita tentang kehidupan masyarakat di negara-negara pecahan Uni Soviet. Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan. Perjalanan ini bukan sekadar memberikan informasi kehidupan masyarakatnya, tapi lebih dari itu. 

Seperti pada buku sebelumnya, Selimut Debu yang bercerita tentang Afganistan, di sini berbagai persoalan negara pecahan Uni Soviet begitu kental. Garis batas pada judul buku bukanlah sebuah imajinasi maya, sebuah batas yang nyata dengan segala kesulitannya. 

Sebuah perjalanan diceritakan pada satu tempat di Tajikistan, sungai panjang menjadi pembatas hingga kerumitan dalam melintasi perbatasan antar negara yang berakhiran “stan”. Berbicara tentang Tajikistan, tentu berbeda dengan Afganistan. 

Kehidupan di Tajikistan lebih modern, jalanan lumayan bagus, dan menariknya hampir seluruh penduduk di Tajikistan ini orangnya melek literasi aksara. Hampir seluruh masyarakatnya bertampilan perlente meski kehidupannya sulit. 

Di sini, birokrasi sangat pelik. Semuanya berkaitan dengan uang dan uang. Wilayah yang hampir semuanya ditutupi pegunungan ternyata mempunyai banyak permasalahan, seperti halnya negara-negara di sekitarnya. 

Pun dengan Kirgizstan, banyak cerita di sini tak lekang oleh waktu. Keramah-tamahan mereka sangat erat, bagaimana tingkat rasa kekeluargaan yang tinggi. Tetap saja di sini perbedaan suku dan pengkotak-kotakan ras begitu nyata. Kebencian antar ras sangat tinggi. 

Sama halnya dengan di Uzbekistan, tempat ini tak kalah membingungkan. Bahkan ada istilah, “itukan di dunia, ini di Uzbek.” Hal ini tentu berkaitan dengan birokrasi yang sangat rumit dan njelimet. Satu hal yang menarik, di sini banyak orang belajar tentang Indonesia (bahasa maupun kebudayaannya). 

Tidak ketinggalan tentang Turkmenistan, negara yang penuh misteri dan sangat sulit dikunjungi. Hanya ada dua pintu yang bisa dilintasi, salah satunya dari Afganistan. Negara ini tak kalah mengerikan, semua dibatasi. 

Ada yang menarik, di sini hampir fasilitas seperti transportasi umum, fasilitas listrik, air, dan yang lainnya sangat murah, bahkan gratis. Mereka bilang di sini lebih baik tidak punya uang karena uang tidak dibutuhkan. 

“Garis batas membuat manusia penuh warna. Berkat garis batas, ada negeri-negeri berbeda, bangsa-bangsa berbeda, beribu bahasa dan makanan khas, adat-istiadat – halaman 82” 

“Di negara ini, kami cuma minoritas. Cari kerja susah. Ekonomi berantakan sejak Soviet runtuh. Korupsi di mana-mana. Mungkin memang ini takdir minoritas, kami selalu jadi incaran empuk pejabat-pejabat rakus – halaman 198” 

“Cinta bangsa itu tidak bisa dibagi-bagi. Di mana pun kita berada, semua adalah sama. Seluruh dunia adalah rumah kita. Langit kita bukan lagi langit Kirgizstan, langit Tajikistan, langit Indonesia, langit Tiongkok, tetapi menjadi langit semesta. Ya, betapa luasnya, dunia yang tanpa garis batas – halaman 235” 

***** 
Mengopi ditemani bacaan buku Garis Batas
Mengopi ditemani bacaan buku Garis Batas

Seluk beluk negara pecahan Uni Soviet memang penuh misteri. Agustinus Wibowo tidak menjadikan dirinya seorang backpaker. Dia menjelma menjadi seorang peneliti. Seperti itulah yang saya rangkum dari berbagai ceritanya. 

Berbekal keahlian berbagai bahasa, mempunyai minat dalam berpetualang, hingga bisa menyatu dengan masyarakat di banyak negara Asia Tengah menjadikan Agustinus Wibowo bisa sedikit menggambarkan bagaimana negara-negara yang berakhiran “Stan” dalam kehidupan sehari-hari. 

Kemiskinan masih melanda, uang negara sendiri anjlok, garis imajinasi dengan membayangkan negara lain (tetangganya) lebih makmur, dan yang lainnya. Hingga urusan ras yang sangat besar sekatnya. Semuanya nyata. 

Buku ini bisa kalian baca bagi orang-orang yang ingin menapaki sedikit jalur sutra. Bercengkerama dengan kehidupan masyarakat penuh kekurangan tapi sangat antusias dalam menyambut tamu asing sebagai tamu kehormatan, atau melihat rumitnya proses perizinan bagi wisatawan asing. 

Hingga, label mata-mata pun bisa disematkan untuk orang asing. Pada akhirnya, uruasan dengan polisi-polisi setempat jauh lebih menakutkan, salah ucap sedikit dapat berakibat fatal. Buku ini bisa kita baca agar fantasi kita menelurusi sedikit sudut-sudut negara di Asia Tengah.

Posting Komentar

0 Komentar