Ticker

6/recent/ticker-posts

Resensi Buku Secangkir Kopi Bully – Memoar tentang bullying dan secuil tip inspiratif

Buku Secangkir Kopi Bully
Buku Secangkir Kopi Bully/Koleksi Pribadi
Sebuah pemberitahuan adanya diskon pembelian buku di situs Gramedia membuatku tertarik. Saya mengecek daftar buku yang ditawarkan, untuk sesaat saya sibuk memilah-milah judul buku. Sampai akhirnya terpilih tiga buku yang siap saya beli. Salah satu buku yang saya beli berjudul “Secangkir Kopi Bully”. 

Sejak paketan buku sudah sampai di tangan. Saya masih jarang membaca, hanya beberapa kali saya baca, tulis di memo, lalu lupa. Hingga awal tahun 2019 saya mulai berusaha meluangkan waktu membaca buku. Harapannya, sebulan minimal bisa membaca dua koleksi buku; lalu saya buat ulasannya di blog pribadi. 

Sebuah pertanyaan muncul, apa hubungannya secangkir kopi dengan bully? 

***** 

Judul: Secangkir Kopi Bully
Penulis: Paresma Elvigro
Penerbit: Quanta (PT Elex Media Komputindo)
ISBN: 978-602-02-4998-8
Tahun: 2014
Halaman: 179
Kategori: cerita, Fiksi, Buku Agama 

Anak perempuan kecil yang hidup di lingkungan sekolah penuh drama. Emma melalui masa-masa sekolah dengan tidak menyenangkan. Berawal dari sekadar ejekan kecil, hingga sampai sebuah ujaran yang tidak pantas, bahkan tidak jarang berakhir dengan kekerasan fisik. 

Proses bully yang dilakukan yang dilakukan secara terus menerus tanpa henti membuat seseorang rapuh. Dia merasa tidak ada tempat yang aman. Sama seperti yang Emma rasakan. Tiap berangkat sekolah, dia harus menghadapi dunia yang berbeda. Saat anak-anak sekolah yang lain riang dan antusias berkumpul dengan teman, dia malah merasa berada di neraka. 

Tidak ada henti teman-teman tertentu melakukan intimidasi, mengejeek, bahkan sampai melakukan kontak fisik. Dari sini, Emma menjadi sosok yang tertekan. Dia bahkan tidak menceritakan kepada siapapun, terlebih kepada orangtua dan guru. Dia takut mengungkapkan. 

Kenyataannya, ketika dia pindah sekolah pun tidak ada perubahan. Justru masa tersebut menjadi seperti berada di titik nadir terendah Emma saat sekolah. Tidak hanya teman sekelas, namun orang lain yang dikira mampu menyelamatkan menjadi sosok paling kejam. 
Membaca buku Secangkir Kopi Bully
Membaca buku Secangkir Kopi Bully/Koleksi pribadi

““Hei, itu di atas bibirmu, tahi lalat atau kotoran,” celetuk seorang siswa ketika melihatku terjatuh dan memandang detail hingga ke tahi lalatku di bawah bibir – halaman 80” 

““Nanti, kalau masih bisa diganti, lebih baik Tanny saja yang ikut cerdas cermat. Kamu kan lebih pandai, Tanny,” celetuk Bu Ingrid”’ 

“Ya, benar kata teori dalam pelajaran social. Pada masa remaja, teman adalah segalanya bagimu. Tapi, bagiku itu hanya teori belaka alias tidak selamanya benar – halaman 150” 


***** 

Buku ini menceritakan kisah seorang anak perempuan yang menghadapi tekanan batin selama sekolah dikarenakan bully dari teman dan guru. Sebuah pengalaman yang pastinya menjadi rasa trauma tersendiri, serta sulit untuk dilupakan. 

Menurutku buku ini tak hanya sekadar buku yang hanya menceritakan rasa anak kecil korban bully. Jauh dari itu, di sini semacam menceritakan penulis (korban) pada masa-masa sulit dan bagaimana dia mengatasinya. 

Pada bagian awal buku, lebih banyak ulasan tentang pengertian bully, beberapa referensi diambil dari jurnal, media daring, dan kutipan ayat-ayat alquran. Ada juga beberapa informasi tentang korban bullying di Indonesia. 

Tiap cerita pendek yang dituliskan diakhiri dengan tips untuk mengatasinya. Diulas juga bagaimana seharusnya peran guru saat mengetahui salah satu muridnya menjadi korban bullying. Tips-tips tersebut diambil dari referensi. 

Pada penulisan ini, saya sedikit agak canggung dengan beberapa tulisan terkait obrolan dengan guru. Misalnya pada beberapa kalimat di bawah ini; 


“Maaf, Bu. Saya nggak tahu kalau ada PR. Kan kemarin kita nggak belajar Bahasa Indonesia jadi saya nggak tahu.” 


“Emma, Pak Heru. Panggil saya Emma aja,” 


Tentu percakapan seperti itu rasanya canggung jika dengan pengajar. Bahasa yang kita gunakan mungkin lebih baik menggunakan kata “tidak” untuk mengganti kata “nggak”. Selaras dengan kata “Aja” pada obrolan kedua, rasanya kurang tepat. Selain itu, kalimat obrolan seperti di atas lebih pas jika berbicara dengan teman angkatan. 

Kesalahan penulisan (saltik) di buku ini tidak banyak. Dari awal membaca, sampai tuntas halaman terakhir, saya hanya mendapatkan satu kata yang salah, yakni pada kata “mengutus” yang tertulis “menugutus” halaman 26. 

Terkepas dari semuanya, saya merasa buku ini bagus dibaca semua kalangan. Terlebih bagi orang-orang yang bekerja sebagai guru atau pengajar. Membaca buku ini bisa membuat kita makin tahu bagaimana mental korban bully yang selama ini kita anggap hal remeh. 

Seperti yang saya utarakan di atas, setiap cerita yang ditulis dilengkapi dengan simpulan serta referensi dari buku, media daring, bahkan banyak juga diambil dari alquran. Menurutku, buku ini bisa juga dimasukkan ke genre agama; karena banyak kutipan-kutipan dari alquran maupun hadis yang dijabarkan.

Posting Komentar

0 Komentar