Ticker

6/recent/ticker-posts

Resensi Buku Selimut Debu Karya Agustinus Wibowo

Buku Selimut Debu Karya Agustinus Wibowo
Buku Selimut Debu Karya Agustinus Wibowo

Tiga tahun berselang, setelah saya belajar membuat resensi buku Titik Nol dengan sederhana. Saya memutuskan membaca karya yang lain milik Agustinus Wibowo. Dua buku yang lainnya belum sempat saya ulas di blog. Hari ini, saya berniat kembali membaca buku Selimut Debu, dan membuat catatan kecil. 

Sebelumnya, buku Selimut Debu ini pernah saya baca sekilas dari koleksi kawan. Selang beberapa tahun kemudian, saya ingin mengoleksi buku-buku tersebut. Beruntung, buku ini saya dapatkan waktu ada diskon dari Gramedia. Untuk sesaat saya mulai membaca kembali tiap halaman buku ini hingga tuntas. 

***** 

Judul: Selimut Debu 

Karya: Agustinus Wibowo 

Penerbit: Gramedia 

ISBN: 978-979-22-7463-9 

Tahun Terbit: Cetakan kelima 2017 

Kategori: Catatan Perjalanan 

Impian dan Kebanggan dari Negeri Perang Afganistan 

Afganistan. Tanpa disadari, nama negara tersebut sudah familiar kita dengar. Tentu informasi yang berkaitan dengan Afganistan tak jauh-jauh dari peperangan, bom meledak, dan rasa aman yang berdampingan dengan ketakutan atas ancaman keselamatan diri. 

Menarik jauh benang sejarah masa lampau. Afganistan adalah negara yang penuh sejarah tinggi. Berbagai peninggalannya menjadi bukti masa lampau di negara ini pernah tercipta kehidupan yang mengagumkan, 

Peninggalan-peninggalan pemimpin masa lampau sebagian besar kontras dengan cerita ataupun catatan yang pernah ada. Sebagian kecil bangunan peninggalan masa lampau masih terawat, sisanya hilang dan rusak tergerus tangan-tangan manusia. 

Agustinus Wibowo membawa kita pada dimensi yang lain tentang Afganistan. Tak menonjolkan cerita perang, catatan perjalanannya mengulas sudut pandang berbeda tentang kehidupan masyarakat di Afganistan. 

Di buku Selimut Debu, kita diajak membayangkan tempat yang bernama Bamiyam. Konon di sini pernah ada patung Buddha yang berukuran raksasa. Hanya saja, konfilk di Afganistan membuat peninggalan sejarah tersebut hancur. Tinggal puing-puingnya. 

Sisa-sisa perang di Bamiyam jauh lebih menonjol, berbagai kendaraan perang, longsongan peluru, hingga tebing-tebing gua penuh bekas tembakan yang dominan. Pada masa peperangan, Bamiyam adalah ladang ranjau. Sampai sekarang kita tidak tahu masih ada berapa banyak ranjau yang tersebar. 

Melangkah lebih jauh, Agustinus Wibowo mengajak kita memasuki dimensi yang lain. Turut senam jantung kala dia menulis pengalaman di Kandahar. Suatu tempat yang paling menakutkan di Afganistan, karena ancaman nyawa melayang hanya sejengkal saja. 

Atau bagaimana kita turut membayangkan perjalanan Agustinus menuju daerah tertentu yang jaraknya ratusan kilometer menaiki kendaraan tua. Melintasi aliran sungai dalam, hawa dingin rasanya membeku, atau malah melintasi barisan gunung nan gersang tanpa ada kehidupan. Perjalanan panjang yang membutuhkan waktu berhar-hari untuk melintasinya. 

“Afganistan adalah negara tua tempat peradaban mulai berayun, berputar, dan berjalan. Kota-kota kuno tegak, kejayaan masa lalu berpendar, kehidupan spiritual berbaur dengan adat dan embusan napas penduduk – halaman 272” 

“Menjadi ‘afgan’ berarti berani, tahan banting, dan pantang mundur. Itulah benang merah yang menyatukan berbagai suku bangsa yang mendiami Afganistan – halaman 330” 

“Selimut debu, selubung gunung, derai tangis, dan desing pertempuran, membungkus wajah Afganistan yang sebenarnya negeri kuno dengan peradaban agung yang terkubur – halaman 380"

***** 
Membaca buku karya Agustinus Wibowo
Membaca buku karya Agustinus Wibowo

Sisi kemanusiaan sangat menonjol di buku Selimut Debu. Negara penuh debu beterbangan bak kabut membuat mata harus menahan perih ini menyoroti kehidupan masyarakat akibat perang tak berkesudahan. 

Agustinus Wibowo menceritakan pengalamannya dalam perjalanan jauh. Berinteraksi dengan masyarakat lokal, berbaur dengan adat yang berbeda, terlebih berkaitan dengan wanita serta suku-suku yang saling bersinggungan. 

Keramahan warga menerima tamu seperti mendapatkan rezeki besar, menjamu dengan baik, hingga melihat sisi kelembutan mereka dari wajah-wajah yang keras dan garang. Masyarakat Afganistan benar-benar menjadi contoh yang baik kala menyambut tamu. 

Siklus hidup mereka yang keras, mengeluh tapi tetap bekerja, atau kebiasaan minum teh di kedai kedai sembari meluangkan waktu bercerita dan mencari hiburan yang lainnya. Sampai pada akhirnya sedikit paham watak masyarakat yang kadang bisa berubah sewaktu-waktu. 

Tentu perjalanan tak semuanya mulus. Kehilangan uang juga Agustinus rasakan, dipukuli hingga bonyok oleh oknum polisi, ditertawakan pemuda karena pakaian berbeda, kehidupan kontras antara Afganistan dan Iran, pelecehan seksual, dan masih banyak yang lainnya. 

Buku Selimut Debu menjadi jendela kita untuk melihat Afganistan dari berbagai sudut. Negara ini tak hanya tentang perang. Ada keindahan penuh sejarah yang bisa kita lihat, ada bangunan megah berdampingan dengan reruntuhan, dan pastinya ada keramahtamahan masyarakat yang tulus kala menyambut tamu dari luar negaranya. Apalagi dari Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar