Melihat cara membuat Gerabah di Magelang |
Siang makin terik. Rombongan yang saya ikuti mulai kelelahan. Sedari pagi sudah menyisir kawasan sekitaran Candi Borobudur naik sepeda. Berkunjung di Candi Pawon, melintasi pematang sawah, dan kali ini masih di jalur kecil tanah liat, mobil bisa lewat.
Sepeda onta yang saya kayuh tetap stabil meski berkali-kali saya harus menyalip satu-persatu rombongan untuk mengabadikan aktivitas bersepeda. Sebuah plang bertuliskan Karanganyar, Borobudur terpasang di tepian sawah.
Rombongan melaju pelan, tujuannya kali ini adalah tempat istirahat sekaligus makan siang. Kedai Nujiwa namanya. Bangunan panjang di depan semi terbuka dengan deretan meja serta kursi yang tersebar. Menu makan siang tertata rapi pada meja panjang.
Halaman kedai Nujiwa luas. Belasan sepeda yang kami sewa terparkir rapi. Dua pemandu lokal sudah lebih dulu sampai. Mereka berkoordinasi dengan pihak kedai sebelum kami datang. Seperti permintaan awal, menu makanan ala desa menjadi santapan siang.
Bangunan Kedai Nujiwa di Magelang |
“Kita istirahat?” Tanya Monjurul, mahasiswa dari Nepal.
“Ya, kita istirahat. Langsung bersihkan badan dan makan siang,” Jawabku.
Belasan mahasiswa internasional ini didominasi dari Nepal. Ada yang dari Papua Nugini, Timor Leste, serta Indonesia. Selama di sini, saya membiasakan diri untuk menggunakan bahasa Inggris kala berkomunikasi. Awalnya kurang percaya diri, tapi akhirnya terbiasa.
Agenda selanjutnya makan siang. Saya lihat semua sudah menyantap kuliner ala desa. Tidak berapa lama, saya sudah berbaur bersama mereka. Menikmati sepiring nasi, sayur bening, tempe goreng, serta lauk yang lainnya.
Lepas itu, saya beranjak keluar. Terdapat musola terbuka di gazebo belakang ruang utama. Tempat wudu menyatu dengan toilet, sementata gazebo musola terpisah. Tak besar, cukup untuk empat orang berjamaah.
Musolanya di gazebo kecil |
Saya mengantre, menunggu rombongan yang lainnya sudah terlebih dahulu menunaikan salat. Hari ini, semua agenda berlokasi di Resto Nujiwa, sehingga tidak perlu lagi bersepeda menyusuri sudut-sudut pematang sawah di Borobudur.
Sembari menunggu antre salat, saya melihat daerah sekeliling. Hamparan sawah menghijau tampak subur. Sedikit puncak Candi Borobudur mengintip, serta dua gunung Merapi dan Merbabu tertutup awan.
Sudut lain daerah perbukitan khas Menoreh. Gazebo kecil tampak dari kejauhan di atas bukti. Informasi dari pemandu lokal, bangunan tersebut adalah Puncak Suroloyo. Dari sini memang terlihat jelas puncak tersebut.
Candi Borobudur tampak dari kejauhan |
Tanah Liat dan Membuat Gerabah di Nujiwa
Tidak jauh dari musola, terdapat bangunan terbuka. Di sana berbagai hasil karya dari tanah terpajang. Semuanya masih tampak bahan dasarnya. Berbagai pernak-pernik yang terbuat dari tanah sedang dijemur, tertata rapi di atas rak.
Saya hanya melihat plastik-plastik yang di dalamnya tanah liat. Rombongan mahasiswa mulai berdatangan, aktivitas yang dilakukan hari ini adalah membuat benda dari tanah liat. Setiap orang dibebaskan berekspresi membuat apa saja.
Bahan dasar pembuatan gerabah adalah tanah liat yang sudah digumpal dengan campuran air. Tidak semua tanah bisa dijadikan gerabah, ada ketentuan khusus yang membuat tanah ini bisa lembut serta mudah dibuat sesuai keinginan pembuatnya.
Tanah untuk membuat gerabah |
Tanah-tanah ini dibeli dari tempat tertentu. Dituturkan salah satu ibu yang membuat gerabah, satu ember berukuran tanggung, tanah tersebut dibeli seharga 8.000 rupiah. Saya tersadar, ternyata memang tidak semua tanah mempunyai kualitas bagus untuk dibuat gerabah.
Ibu-ibu yang bertugas mendamping pembuatan gerabah sudah beraksi sejak tadi. Awalnya, rombongan hanya melihat cara pembuatan kanvas bunga dan yang lainnya, setelah itu mereka diperbolehkan untuk mempraktekkan membuat benda.
Sudah ada tempat khusus untuk membentuk gumpalan tanah menjadi benda. Tanah liat secukupnya ditaruh, lantas alasnya berputar. Kedua tangan langsung menari-nari agar gumpalan tanah tersbeut membentuk benda.
Tangan-tangan membuat karya dari tanah |
Sesekali ibu pemandu menyipratkan air agar gumpalan tanah tak mengering. Lalu mengarahkan jari-jari mahasiswa untuk memoles tanah hingga mengerucut. Mereka diarahkan untuk membuat benda yang mudah cara pembuatannya.
Konon, benda yang mudah dibuat antara lain mangkok, sabak, dan tempat lilin. Tingkat kesulitannya relatif kecil, hanya perlu membuat terlihat simetris. Untuk benda seperti kanvas bunga atau yang lainnya, tingkat kesulitannya jauh lebih rumit.
Salah satu bentuk gerabah |
Katanya, tingkat kesulitan yang paling tinggi adalah membuat stupa. Pembuat gerabah harus menyelaraskan garis-garisnya. Dibutuhkan ketelitian serta kesabaran untuk membuat stupa tersebut. Mereka yang bisa biasanya sudah sedari dulu menekuninya.
Kegiatan membuat gerabah sangat diminati anak-anak sekolah kala sedang praktik lapangan. Saat mancakrida, anak-anak sekolah TK-SD lebih suka membuat gerabah sebagai aktivitas sembari berlibur. Saya sendiri membuat asbak, itupun bentuknya tidak jelas. *Magelang, 07 Maret 2017.
0 Komentar