Novel Jembatan Ana Karya Adamifa |
Di lini masa media sosial, saya mendapat colekan dari kawan Facebook di postingan orang lain terkait buku karyanya. Kawan mengatakan jika akun tersebut adalah salah satu penulis muda di Jepara. Saya harus membaca tulisannya, begitulah pinta kawan.
Selang dua hari, saya membalas komentar sembari meminta narahubungnya. Saya memesan satu buku yang berjudul Jembatan Ana. Buku yang saya beli ini adalah cetakan kedua dan sudah direvisi. Saya tertarik tulisan ini karena rekomendasi kawan serta dia adalah penulis dari Jepara.
*****
Judul: Jembatan Ana
Karya: Adamifa
Penerbit: Isykarima
ISBN: 978-602-74917-4-8
Tahun Terbit: Cetakan Kedua 2020
Kategori: Fiksi, Fantasi, Misteri
Tentang Sebuah Jembatan, Titian atau Penghubung
Ana, seorang perempuan yang mempunyai banyak kelebihan. Tak hanya cakap, perempuan ini pun mempunyai semacam kemampuan yang lain dan tidak dimiliki banyak orang. Perempuan yang mempunyai darah Jepang ini mempunyai banyak cerita menegangkan.
Berawal dari kisah meletusnya Gunung Merapi di tahun 2020, Ana berserta kawannya hadir dengan sudut pandang yang berbeda. Jika banyak orang mendapatkan cerita dari liputan yang beredar di media massa. Ana sendiri mempunyai pandangan kasat mata. Dia bisa menembus ruang dan waktu.
Perjalanan Ana tak hanya tentang Gunung Merapi. Perempuan ini melanglang buana hingga pada masa depan. Jauh dari tahun 2010 (latar cerita), dia menebus ruang dan waktu. Berbagai kejadian silih berganti di masa depan. Pertempuran tak terelakkan.
Layaknya seorang pahlawan. Ana turut berperang di masa depan. Musuhnya tak lagi manusia atau binatang buas. Jauh lebih bahaya dari itu semua. Berbagai kemajuan teknologi membuat tercipta hewan dari rekayasa genetik.
Selain Kinahrejo di Sleman, Ana pun menginjakkan kaki di Papua. Tanah yang menjadi medan perang di masa mendatang. Pertempuran sengit bukan hanya diikuti monster ataupun manusia. Bahkan mahluk astral pun turut dalam kecamuk perang.
Peperangan itu juga bukan hanya dalam bengtuk fisik. Ana juga harus berjuang untuk berperang melawan ego. Benih-benih cinta yang mendadak hadir di tengah musibah membuatnya hampir tak bisa menahan ego. Tenaga terkuras habis kala musibah, ego cinta pun makin membara.
“Dasar Setan!. Di situasi seperti ini, bisa-bisanya kau tetap menggoda?! – halaman 122”“Aku bukan anak yang diculikm aku lahir dan dibuang? Aku, aku bukan saudara kanding Melan, Pak Indra pasti salah orang – halaman 212“Dan demi keselamatan kalian sekarang, segera jauhilah tanah Papua ini! Secepat yang kalian bisa!. Ingat!. Sebelum matahari menyentuh katulistiwa di ufuk barat – halaman 340”
*****
Membaca novel Jembatan Ana sembari menyesap kopi |
Saya membaca saksama novel Jembatan Ana karya Adamifa. Di sini, otak saya pun harus berusaha mencerna berbagai masalah yang dihadirkan. Alur cerita berloncatan, tiba-tiba di masa sekarang, meloncat ke masa lampau, serta masa depan.
Benang merah ada di sosok Ana, meski di sini ada banyak cerita tokoh yang turut diceritakan. Saking banyaknya tokoh dengan sudut pandang pencerita berbeda, saya harus mencatat beberapa namanya agar tidak terlupakan, serta alurnya.
Novel ini menarik, setidaknya bagi saya yang tidak paham dunia dimensi yang lain. Pencerita menyambungkan antara kisah di dunia nyata dengan cerita tak kasatmata. Dunia di dimensi lain ikut diceritakan meski dalam bentuk penokohan.
Alur cerita yang menarik. Sebagai novel fiksi dan fantasi (menurutku), ceritanya sederhana tapi malah menyebar tak tentu arah. Awal cerita masih bisa menyatu benang merahnya, cerita selanjutnya malah bercerita sosok yang lain dengan berbagai versi.
Hingga pada menjelang akhir, kembali cerita menyambung dengan alur yang sudah berbeda dan masa berbeda. Banyak alur dan cerita penokohan membuat pembaca harus bisa mencari topik yang ingin disampaikan secara tersirat.
Tempat-tempat dalam cerita pun menarik, meski bagi saya penokohan Ana dengan kemampuan luar biasanya itu agak janggal. Entahlah, saya merasa terkejut ketika penulis menceritakan di tempat luar negeri hanya sekilas, sekadar permukaannya.
Pun dengan tragedi kapal tenggelam, satu cerita yang menghubungkan antara seseorang dengan Karimunjawa. Lalu bercerita bahwa Karimunjawa indah dengan beberapa destinasi pulaunya sebenarnya menarik, hanya saja alur cerita itu pada tahun 1991. Sehingga bagi saya terasa janggal.
Satu penggalan cerita tentang menelpon di tengah laut saat penyeberangan ke Karimunjawa dengan latar cerita tahun 1991 bagi banyak orang itu wajar. Tapi saya tahu di tahun itu Karimunjawa belum ada sinyal dan yang lainnya. Berhubung ini cerita fiksi, jadi sesuatu bisa saja terjadi.
Penulisan tanda baca pada kalimat langsung bagi saya terlalu berlebihan. Penggunaan tanda titik di belakang tanda seru, atau yang lainnya. Sehingga jika kita terbiasa membaca tulisan rapi, ada sedikit yang mengganjal di mata.
Pesan yang tersirat dalam novel ini adalah tentang ulah manusia. Jika manusia arogan, maka dunia ini hancur, termasuk negara kita Indonesia. Di sini juga menyiratkan pesan tentang komunikasi, entah antar manusia kala mengurusi migitasi bencana, atau manusia dengan mahluk yang lainnya.
Saya pun mengapresiasi dengan sentilan penulis tentang Indonesia di tahun 2014 yang disisipan. Setidaknya sentilan ini membuat kita tambah yakin bahwa cerita fantasi ini ada di Indonesia. Meski, ceritanya seperti di planet lain yang zamannya jauh lebih modern.
Bagaimana dengan alur ceritanya? Ciri khas cerita fantasi. Alurnya membuat orang sulit untuk menerka. Kita bisa tahu alurnya seperti apa justru menjelang akhir bacaan. Ada beberapa novel yang alurnya mirip, tapi tetap saja penulis ini memang layak membuat cerita panjang tentang kehidupan modern di masa depan. Ditunggu karya yang lainnya.
0 Komentar