Ticker

6/recent/ticker-posts

Patjar Merah, Festival Literasi Kecil dan Pasar Buku

Pengunjung mencari buku di penerbit Indie
Pengunjung mencari buku di penerbit Indie
Seperti senyap, tanpa ada keramaian di bulan-bulan sebelumnya. Menyeruak dalam sepekan, Jogja kebanjiran tokoh-tokoh yang bergelut di dunia literasi tampil dengan penyokong penuh sebuah akun Instagram bernama Patjar Merah. 

Tidak membutuhkan waktu lama, segala ageda yang sudah tersusun rapi dengan tamu-tamu berkelas di bidangnya menjadi narasumber di panggung kecil yang di depan mereka tumpukan buku tengah dipajang untuk menarik minat calon pembeli. 

Ivan Lanin, Alexander Thian, Jenny Jusuf, Nila Tanzil, Trinity, Syahid Muhammad, Marrysa Tunjung Sari, Bernard Batubara, Ria Papermoon, Windy Ariestanty, ditambah orang-orang yang sudah lama berada di Jogja seperti Agus Mulyadi, Kalis Mardiasih, serta yang lainnya. Festival ini menjadikan Jogja semakin riuh, khususnya di bekas Gudang yang berada di sekitaran Gedongkuning. 

Dimulai sejak tanggal 01 Maret, hingga berakhir pada tanggal 10 Maret. Gelaran buku ini menyita para pecinta buku, khususnya buku-buku Indie. Secara tidak langsung, perayaan festival literasi ini mengingatkanku acara Kampung Buku di Jogja. Mungkin penyelenggaranya beda, namun orang-orang yang terlibat bisa jadi beberapa sama. 
Bagian depan pintu masuk Patjar Merah
Bagian depan pintu masuk Patjar Merah
Sempat saya berbincang dengan salah satu panitia, secara tidak sengaja dia menceritakan bahwa gelaran ini dikonsep dalam waktu tiga bulan. Tentu sebuah gelaran akbar namun dikonsep dalam waktu yang menurutku tidak lama. Hasilnya, jangan tanya. Antusias para pecinta buku di Jogja itu tak pernah surut. 

Ada puluhan meja tertata rapi, lengkap dengan keterangan koleksi yang disediakan. Dari sebegitu banyak subjek; meja-meja novel fiksi yang mungkin ada 9 meja tak pernah sepi. Selain itu, subjek buku sastra, agama, dan Sospol juga menarik minat pemburu buku. 

Satu hal yang mungkin bagi kalian sedikit heran. Ada satu baris jejeran buku panjang di depan sangat ramai calon pembeli. Saya turut berebut buku di meja tersebut. Plang informasi tertera tulisan “Buku Indie”. Di sini, saya menggamit beberapa koleksi dari penerbitan Indie. 

Tak sedikit tangan yang membolak-balik tumpukan buku. Berusaha menemukan koleksi yang menjadi buruannya. Di tempat yang tidak jauh, terdapat empat eksemplar koleksi yang bisa dibeli satu paket dengan harga yang murah. 

Pun dengan buku yang bertuliskan @10.000an. Sudut ini tak kalah ramai. Puluhan pasang mata focus pada tiap judul buku, sigap mengambil buku di dalam tumpukan, lantas mengembalikan lagi jika tidak sesuai yang diharapkan. 

Pemandangan yang lain dan menurutku menarik adalah tingkah anak-anak kecil yang datang ke tempat seperti ini. ada yang takjim membaca judul buku anak-anak, ada yang berlarian sembari menarik troli milik orangtuanya, ada pula yang seakan-akan sibuk mencari koleksi bacaan. Menarik memang! 

Selain itu, aku sempat bertemu dengan rombongan remaja yang sedari tadi sepertinya kebingungan mencari koleksi yang dia inginkan. 

“Saya mencari bukunya Amrazing!?” Soktak tiga remaja di depanku sibuk membolak-balikkan tumpukan buku. Berharap target buku yang dicari ketemu. 

Saya yang sempat mengabadikan beberapa tumpukan buku ingat benar, di mana koleksi itu dapat ditemukan. Saya anjurkan tiga remaja putri ini ke depan. 
Keramaian pengunjung di Patjar Merah
Keramaian pengunjung di Patjar Merah
“Di depan mbak, bukunya berdampingan dengan miliknya Mbak Windy. Saya dengar-dengar, setelah di story Amrazing, buku yang di belakang habis. Stok baru ada di depan.” 

Bergegas ketiga remaja putri tersebut mencari koleksi di depan. Tak berapa lama, mereka sudah antre di kasir, tepat di depanku. Mereka menggamit beberapa koleksi buku. 

Di Festival Literasi ini, saya melihat banyak orang yang kukenal. Mulai dari mereka pegiat literasi, travel blogger, potografer, hingga mahasiswa. Semua membaur menjadi satu tanpa ada sekat. Memilah-milah buku, merekomendasikan bacaannya kepada teman/kolega, dan saling menyapa satu dengan yang lainnya. 

Sudah lama Jogja jarang ada pameran buku, seingatku, Kampung Buku Jogja-lah yang terakhir. Semoga, festival ini terus ada, dan Jogja tetap dijadikan tempatnya. Siapapun kamu (peyelenggara), saya percaya, kamu mempunyai rasa keterikatan dengan Jogja. Meski bukan dengan raga, tapi dengan kenangan dan buku. *Patjar Merah, 03 Maret 2019

Posting Komentar

0 Komentar